Rabu, 31 Juli 2013

Kerajaan Kanjuruhan di Jawa Timur

KERAJAAN KANJURUHAN

Kerajaan Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang. Kanjuruhan telah ada pada abad ke-6 Masehi. Bukti peninggalan kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Raja terkenal Gajayana. Peninggalan lain Candi Badut dan Candi Wurung.

Gambar 1. Letak pusat Kerajaan Kanjuruhan

Kerajaan Kanjuruhan menurut para ahli purbakala berpusat dikawasan Dinoyo Kota Malang sekarang. Salah satu bukti keberadaan Kerajaan Kanjuruhan ini adalah Prasasti Dinoyo yang saat ini berada di Museum Jakarta. Prasasti Dinoyo ditemukan di Desa Merjosari (5 Km. sebelah Barat Kota Malang), di kawasan Kampus III Universitas Muhammadiyah saat ini. Prasasti Dinoyo merupakan peninggalan yang unik karena ditulis dalam huruf Jawa Kuno, bukan huruf Pallawa sebagaimana prasasti sebelumnya. Keistimewaan lainnya adalah cara penulisan tahun berbentuk candra sangkala berbunyi Nayana Vasurasa (tahun 682 Saka) atau 760 Masehi. Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan. Prasasti ini menceritakan bahwa dalam abad ke-8 ada kerajaan yang berpusat di Kanjuruhan (sekarang Desa Kejuron) dengan raja bernama Dewasimha dan berputra Limwa (saat menggantikan ayahnya bernama Gajayana), yang mendirikan sebuah tempat pemujaan untuk Dewa Agastya yang diresmikan tahun 760. Upacara peresmian dilakukan oleh para pendeta ahli Weda (agama Siwa). Bangunan kuno yang saat ini masih ada di Desa Kejuron adalah Candi Badut, berlanggam Jawa Tengah, sebagian masih tegak, dan juga lingga (mungkin lambang Agastya).

Gambar 2. Prasasti Dinoyo

Dalam Prasasti Dinoyo diceritakan masa keemasan Kerajaan Kanjuruhan sebagaimana berikut:
1. Ada sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja yang sakti dan bijaksana bernama Dewasimha.
2. Setelah meninggal, Raja Dewasimha digantikan oleh putranya bernama Sang Liswa.
3. Sang Liswa terkenal dengan gelar Gajayana dan menjaga istana besar bernama Kanjuruhan.
4. Sang Liswa memiliki putri yang disebut Sang Uttiyana.
5. Raja Gajayana dicintai para brahmana dan rakyatnya karena membawa ketenteraman di seluruh negeri.
6. Raja dan rakyatnya menyembah kepada yang mulia Sang Agastya.
7. Bersama Raja dan para pembesar negeri, Sang Agastya (disebut Maharesi) menghilangkan penyakit.
8. Raja melihat Arca Agastya dari kayu cendana milik nenek moyangnya.
9. Maka raja memerintahkan membuat Arca Agastya dari batu hitam nan elok.

Prasasti Sangguran (Batu Minto) asal daerah Ngandat, Malang, Jawa Timur, yang pernah dibawa ke luar negeri oleh Stamford Raffles pada 1814, berasal dari abad ke-10. Prasasti Sangguran (Prasasti Minto), dikenal dengan “Lord Minto” atau “Minto Stone” untuk versi Skotlandia (Inggris), merupakan prasasti beraksara dan bahasa Jawa Kuno. Prasasti itu merupakan reruntuhan candi di Desa Ngandat, Malang, dan dinilai sangat penting dari sisi historis, karena menjadi bagian sejarah peralihan dari Kerajaan Mataram ke Jawa Timur.

Gambar 3. Prasasti Sangguran

Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya adalah tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja Dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka. Jika dikonversi ke dalam tahun Masehi, maka identik dengan 2 Agustus 928.

Prasasti tersebut menyebutkan nama Rakryan Mapatih I Hino Pu Sindok Sri Isanawikrama dan  istilah sima “kajurugusalyan” di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pandai besi, perunggu, tembaga, dan emas. Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.

Ahli epigrafi Boechari menafsirkan bahwa mungkin pada masa pemerintahan Raja Wawa ada sekelompok pandai atau seorang pemuka pandai yang berjasa kepada raja. Pendapatnya didasarkan atas analogi dari kitab Pararaton yang menyebutkan Mpu Gandring, tokoh yang dianggap pembuat keris legendaris, bersama keturunannya mendapat hak istimewa dari Sri Rajasa (Ken Arok) berupa anugerah sima kajurugusalyan (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).

Di mata para epigraf, Prasasti Sangguran dianggap unik karena menyebutkan istilah “rakryan kanuruhan”. Menurut J.G. de Casparis, kanuruhan berasal dari nama Kerajaan Kanjuruhan yang disebut dalam Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Kerajaan itu berpusat di sekitar Malang sekarang.

Rupa-rupanya Kerajaan Kanjuruhan pada suatu ketika ditaklukkan oleh raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryan kanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara (candi utama) pada candi kerajaan itu. Sayangnya hubungan antara Prasasti Sangguran dengan Candi Prambanan belum diteliti secara mendalam oleh para pakar.

Kekuasaan Rakryan Kanuruhan (Kanjuruhan)
Daerah kekuasaan Rakryan Kanuruhan watak Kanuruhan. Watak adalah suatu wilayah yang luas, yang membawahi berpuluh-puluh wanua (desa). Jadi mungkin daerah watak itu dapat ditentukan hampir sama setingkat kabupaten. Dengan demikian Watak Kanuruhan membawahi wanua-wanua  (desa-desa) yang terhampar seluas lereng sebelah timur Gunung Kawi sampai lereng barat Pegunungan Tengger-Semeru ke selatan hingga pantai selatan Pulau Jawa.

Dari sekian data nama-nama desa (wanua) yang berada di wilayah (watak) Kanuruhan menurut sumber tertulis berupa prasasti yang ditemukan disekitar Malang adalah sebagai berikut :
1. daerah Balingawan (sekarang Desa Mangliawan Kecamatan Pakis),
2. daerah Turryan (sekarang Desa Turen Kecamatan Turen),
3. daerah Tugaran (sekarang Dukuh Tegaron Kelurahan Lesanpuro),
4. daerah Kabalon (sekarang Dukuh Kabalon Cemarakandang),
5. daerah Panawijyan (sekarang Kelurahan Palowijen Kecamatan Blimbing),
6. daerah Bunulrejo (yang dulu bukan bernama Desa Bunulrejo pada zaman Kerajaan Kanuruhan),
7. dan daerah-daerah di sekitar Malang barat seperti : Wurandungan (sekarang Dukuh Kelandungan – Landungsari), Karuman, Merjosari, Dinoyo, Ketawanggede, yang di dalam beberapa prasasti disebut-sebut sebagai daerah tempat gugusan kahyangan (bangunan candi) di dalam wilayah/kota Kanuruhan.

Demikianlah daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Rakryan Kanuruhan. Dapat dikatakan mulai dari daerah Landungsari (barat), Palowijen (utara), Pakis (timur), Turen (selatan). Keistimewaan pejabat Rakryan Kanuruhan ini disamping berkuasa di daerahnya sendiri, juga menduduki jabatan penting dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno sejak zaman Raja Balitung, yaitu sebagai pejabat yang mengurusi urusan administrasi kerajaan. Jabatan ini berlangsung sampai zaman Kerajaan Majapahit. Begitulah sekilas tentang Rakryan Kanuruhan. Penguasa di daerah tetapi dapat berperan di dalam struktur pemerintahan kerajaan pusat, yang tidak pernah dilakukan oleh pejabat (Rakyan) yang lainnya, dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno di masa lampau.

Peninggalan Sejarah

1. Candi Badut
Gambar 4. Candi Badut

Lokasi : Dukuh Badut, Desa Karangbesuki, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang
Ketinggian : 508 MDPL
Luas Total : 2808 m²
Bahan : Batu Andesit
Ukuran Candi : 17.27 m x 14.04 m x tinggi 8 m menghadap ke barat

Kata Badut di sini berasal dari bahasa sansekerta “Bha-dyut” yang berarti sorot Bintang Canopus atau Sorot Agastya. Hal itu terlihat pada ruangan induk candi yang berisi sebuah pasangan arca tidak nyata dari Siwa dan Parwati dalam bentuk lingga dan yoni. Pada bagian dinding luar terdapat relungrelung yang berisi arca Mahakal dan Nadiswara. Pada relung utara terdapat arca Durga Mahesasuramardhini. Relung timur terdapat arca Ganesha. Dan disebelah Selatan terdapat arca Agastya yakni Syiwa sebagai Mahaguru. Namun di antara semua arca itu hanya arca Durga Mahesasuramardhini saja yang tersisa. Maka bisa dipastikan bahwa Candi Badut ini bersifat Hindu.

Candi ini adalah peninggalan Prabu Gajayana, penguasa kerajaan Kanjuruhan sebagaimana yang termaktub dalam prasasti Dinoyo bertahun 760 Masehi. Candi ini ditemukan tahun 1921 M oleh E.W. Mauren Brechter di tengah sawah dalam keadaan rusak dan tertutup tanah. Pemugaran sudah dilakukan beberapa kali, 1925/1926, kemudian 1990/1991 s.d. 1991/1992.

Gambar 5. Lingga dan yoni

Gambar 6. Relung arca Dewi Durga
Mahesasuramardhini


0 komentar:

Posting Komentar

 
;